Sabtu, 04 Maret 2017


“Ta ayo lari cepet!” teriak Ragil sembari menarik tangganku.
Aku melihat seekor ular besar berjalan menuju arah tempat dimana aku dan teman-temanku sedang duduk di sekitaran gubuk.
“Si Uti, Ali sama Ucup mana?” tanyaku pada Ragil. Lalu tiba-tiba aku mendengar Uti memanggilku.
“Itaaaa....!”
“Ti kamu baik-baik aja kan? Kalian juga baik-baik aja kan?” tanyaku pada mereka.
“Kita ngga papa kok, sekarang kita duduk dulu aja, baru lanjut jalan lagi. Oke? Aku capek. Bentar ya.” Kata Ucup yang terlihat terengah-engah.
“Nih Ta minum dulu.” kata Ragil sembari memberikan botol air mineral padaku.
Thanks  ya.”
“Ini air terjunnya dimana sih kok lama banget ngga sampai kesana.” Kata Uti yang mulai merasa kesal.
“Sabar non. Memang tempatnya jauh.” Kata Ali. “Yaudah ayo kita jalan lagi.” Ajak Ali pada kita.
Kami pun melanjutkan perjalanan untuk menuju tempat air terjun. Ali yang berjalan paling depan pun memberikan peringatan bahwa jalan yang dilalui semakin lama semakin licin. Namun tiba-tiba. “Eh eh Ta Ta....!” teriak Ragil. Bukan malah menolong, aku dan ketiga temanku malah menertawai Ragil yang terpeleset.
“Ha ha ha ha! Makanya dibilangin suruh ati-ati ya di dengerin. Orang jalanya licin gini.” Kata Ali sembari tertawa meledek pada Ragil.
“Yah bajuku kotor deh. Ta celanaku kotor juga ngga?” tanya Ragil sambil berbalik badan mengarahkan bagian belakang tubuhnya padaku.
“Udah-udah ntar ganti aja di mobil.” Kataku dengan santai.
Kami pun tak henti menertawai Ragil yang kesakitan karena terpeleset dan semua pakaiannya penuh dengan tanah merah.
“Udah ayo jalan lagi aja.” Ajak Ali.
Sepanjang perjalanan menuju air terjun, lagi-lagi Uti, Ucup dan Ali meledek dan menggoda Ragil. Ia pun menggerutu dan hanya bisa diam.
Entah kenapa sepanjang perjalanan menuju air terjun, Ragil terus menggandeng dan menuntunku. Sesekali aku mencuri pandang padanya. Seolah ada rasa suka ketika aku dan ia dipertemukan kembali setelah sekian lama tak pernah berada dalam satu aktivitas bersama.  
“Akhirnya sampai juga lihat air terjun yang jernih ini.” Kata Uti dengan senang. Kami pun dengan segera meletakkan barang bawaan dan memulai untuk menikmati suasana disekitar air terjun itu.
Ketika aku berada dibawah air terjun aku memejamkan mata. Merasakan dinginnya air mengalir dari ujung kepala hingga ujung kaki. Perlahan aku membuka mata, melihat sosok Ragil yang berada di sampingku. Kembali ku pejamkan mata, merasakan lagi dinginnya air terjun. Tapi aku mulai merasakan seperti ada yang sedang menggenggam tanganku. Ku buka lagi mataku. Ku lihat Ragil berada disampingku dengan menggenggam tanganku. Kami pun merasakan dingin air terjun itu bersama.
Aku mendengar suara Uti, Ucup dan Ali yang sedang bercanda sembari menikmati dinginnya air terjun itu. Namun tiba-tiba aku mendengar suara Uti yang terdengar begitu jauh. Ketika aku membuka mata, aku tidak sedang berada di antara mereka. Aku melihat sekeliling, bingkai foto yang terpajang di dinding kamar terlihat samar-samar. Lalu aku melihat ke arah kiri. Jam dinding menunjukkan pukul setengah lima. Suara adzan subuh membuatku sadar bahwa aku sedang berada di alam nyata.

Aku bermimpi.
Mimpi yang datang begitu saja tanpa permisi. Bermimpi menghabiskan waktu bersama seseorang yang pernah ada dan menjadi bagian dalam hidupku. Namun semuanya telah usai. Semua yang aku alami hanyalah mimpi.
Sesekali aku bertanya pada diri sendiri, apa aku sedang rindu dengannya?
Siang itu, aku bertemu dengan Uti di kantin kampus.
“Ti Uti!” Teriakku memanggil Uti.
“Hei, makan yuk Ta.” Ajaknya.
“iya aku pesen dulu ya. Duduk disitu aja ya Ti.” Kataku sembari menunjuk tempat duduk.
“Eh Ti masak semalem aku mimpi main bareng sama Ragil.”
“Ta, kok bisa sih? Kamu kangen ya sama dia?” tanyanya meledek.
“Idih Ti, apaan sih. Sok-sokan nanda-nandain mimpi orang deh.”jawabku kesal.
“Ta, move on deh. Masak dia lagi dia lagi. Kamu masih inget kan dia gimana ke kamu. gimana galaunya kamu waktu dulu. udah deh Ta, cukup. aku kasian sama kamu kalau nantinya mesti galau-galauan lagi. Mending sekarang ya kamu buka hati deh buat si Aji. Udah jelas ada orang yang sayang sama kamu. Nyata lho Ta ini. Ayolah Ta, buka hati buat Aji.” Kata Uti menasehatiku.
Aku hanya tersenyum mendengar perkataan Uti. Mencoba memahami maksud Uti. Memang sudah sangat lama aku dan Ragil berpisah. Dan sudah cukup lama pula aku dan Aji bersama-sama. Kedekatanku dengan Aji sampai saat ini pun tidak ada kejelasan pasti. Tapi sikap dewasanya membuatku merasa nyaman ketika berada di dekatnya.
“Ta, are you okey?” tanya Uti.
“Iya Ti, aku ngga papa kok. Thanks ya Ti.” Kataku dengan penuh senyum.
“udah ah Ta jangan di pikirin berlarut-larut. Itu cuma mimpi Ta. Mending kamu fokus sama apa yang udah ada di depan mata kamu. Okey Ta?” Uti terlihat begitu semangat meyakinkan aku.

Aku mencoba merenungkan nasehat-nasehat yang diberikan sahabatku untukku. Mungkin orang lain sering menyebut hal semacam ini dengan istilah “terjebak nostalgia”. Sesekali rindu mungkin boleh, tapi berlarut-larut dalam masa lalu itu tidak baik.