Aku
melihat seekor ular besar berjalan menuju arah tempat dimana aku dan
teman-temanku sedang duduk di sekitaran gubuk.
“Si
Uti, Ali sama Ucup mana?” tanyaku pada Ragil. Lalu tiba-tiba aku mendengar Uti
memanggilku.
“Itaaaa....!”
“Ti
kamu baik-baik aja kan? Kalian juga baik-baik aja kan?” tanyaku pada mereka.
“Kita
ngga papa kok, sekarang kita duduk dulu aja, baru lanjut jalan lagi. Oke? Aku
capek. Bentar ya.” Kata Ucup yang terlihat terengah-engah.
“Nih
Ta minum dulu.” kata Ragil sembari memberikan botol air mineral padaku.
“Thanks ya.”
“Ini
air terjunnya dimana sih kok lama banget ngga sampai kesana.” Kata Uti yang
mulai merasa kesal.
“Sabar
non. Memang tempatnya jauh.” Kata Ali. “Yaudah ayo kita jalan lagi.” Ajak Ali
pada kita.
Kami
pun melanjutkan perjalanan untuk menuju tempat air terjun. Ali yang berjalan
paling depan pun memberikan peringatan bahwa jalan yang dilalui semakin lama
semakin licin. Namun tiba-tiba. “Eh eh Ta Ta....!” teriak Ragil. Bukan malah
menolong, aku dan ketiga temanku malah menertawai Ragil yang terpeleset.
“Ha
ha ha ha! Makanya dibilangin suruh ati-ati ya di dengerin. Orang jalanya licin
gini.” Kata Ali sembari tertawa meledek pada Ragil.
“Yah
bajuku kotor deh. Ta celanaku kotor juga ngga?” tanya Ragil sambil berbalik
badan mengarahkan bagian belakang tubuhnya padaku.
“Udah-udah
ntar ganti aja di mobil.” Kataku dengan santai.
Kami
pun tak henti menertawai Ragil yang kesakitan karena terpeleset dan semua pakaiannya penuh dengan tanah merah.
“Udah
ayo jalan lagi aja.” Ajak Ali.
Sepanjang
perjalanan menuju air terjun, lagi-lagi Uti, Ucup dan Ali meledek dan menggoda
Ragil. Ia pun menggerutu dan hanya bisa diam.
Entah
kenapa sepanjang perjalanan menuju air terjun, Ragil terus menggandeng dan
menuntunku. Sesekali aku mencuri pandang padanya. Seolah ada rasa suka ketika
aku dan ia dipertemukan kembali setelah sekian lama tak pernah berada dalam
satu aktivitas bersama.
“Akhirnya
sampai juga lihat air terjun yang jernih ini.” Kata Uti dengan senang. Kami pun
dengan segera meletakkan barang bawaan dan memulai untuk menikmati suasana
disekitar air terjun itu.
Ketika
aku berada dibawah air terjun aku memejamkan mata. Merasakan dinginnya air
mengalir dari ujung kepala hingga ujung kaki. Perlahan aku membuka mata,
melihat sosok Ragil yang berada di sampingku. Kembali ku pejamkan mata,
merasakan lagi dinginnya air terjun. Tapi aku mulai merasakan seperti ada yang
sedang menggenggam tanganku. Ku buka lagi mataku. Ku lihat Ragil berada disampingku
dengan menggenggam tanganku. Kami pun merasakan dingin air terjun itu bersama.
Aku
mendengar suara Uti, Ucup dan Ali yang sedang bercanda sembari menikmati
dinginnya air terjun itu. Namun tiba-tiba aku mendengar suara Uti yang
terdengar begitu jauh. Ketika aku membuka mata, aku tidak sedang berada di
antara mereka. Aku melihat sekeliling, bingkai foto yang terpajang di dinding
kamar terlihat samar-samar. Lalu aku melihat ke arah kiri. Jam dinding
menunjukkan pukul setengah lima. Suara adzan subuh membuatku sadar bahwa aku
sedang berada di alam nyata.
Aku
bermimpi.
Mimpi
yang datang begitu saja tanpa permisi. Bermimpi menghabiskan waktu bersama
seseorang yang pernah ada dan menjadi bagian dalam hidupku. Namun semuanya
telah usai. Semua yang aku alami hanyalah mimpi.
Sesekali
aku bertanya pada diri sendiri, apa aku sedang rindu dengannya?
Siang
itu, aku bertemu dengan Uti di kantin kampus.
“Ti
Uti!” Teriakku memanggil Uti.
“Hei,
makan yuk Ta.” Ajaknya.
“iya
aku pesen dulu ya. Duduk disitu aja ya Ti.” Kataku sembari menunjuk tempat
duduk.
“Eh
Ti masak semalem aku mimpi main bareng sama Ragil.”
“Ta,
kok bisa sih? Kamu kangen ya sama dia?” tanyanya meledek.
“Idih
Ti, apaan sih. Sok-sokan nanda-nandain mimpi orang deh.”jawabku kesal.
“Ta,
move on deh. Masak dia lagi dia lagi.
Kamu masih inget kan dia gimana ke kamu. gimana galaunya kamu waktu dulu. udah
deh Ta, cukup. aku kasian sama kamu kalau nantinya mesti galau-galauan lagi.
Mending sekarang ya kamu buka hati deh buat si Aji. Udah jelas ada orang yang
sayang sama kamu. Nyata lho Ta ini. Ayolah Ta, buka hati buat Aji.” Kata Uti
menasehatiku.
Aku hanya tersenyum mendengar perkataan Uti. Mencoba
memahami maksud Uti. Memang sudah sangat lama aku dan Ragil berpisah. Dan sudah
cukup lama pula aku dan Aji bersama-sama. Kedekatanku dengan Aji sampai saat
ini pun tidak ada kejelasan pasti. Tapi sikap dewasanya membuatku merasa nyaman
ketika berada di dekatnya.
“Ta, are you
okey?” tanya Uti.
“Iya Ti, aku ngga papa kok. Thanks ya Ti.” Kataku dengan penuh senyum.
“udah ah Ta jangan di pikirin berlarut-larut. Itu
cuma mimpi Ta. Mending kamu fokus sama apa yang udah ada di depan mata kamu.
Okey Ta?” Uti terlihat begitu semangat meyakinkan aku.
Aku mencoba merenungkan nasehat-nasehat yang
diberikan sahabatku untukku. Mungkin orang lain sering menyebut hal semacam ini
dengan istilah “terjebak nostalgia”. Sesekali rindu mungkin boleh, tapi berlarut-larut
dalam masa lalu itu tidak baik.