Selasa, 17 Juli 2018


Hijau Tentara
(Firstha Indriani)

Masih tergantung rapi sepotong baju gamis model hijabers muda masa kini. Dengan warna tidak mencolok alias sangat kalem, sesuai dengan warna-warna seleraku. Aku tidak pernah mengira sepotong baju gamis akan menjadi hadiah terakhir darimu.

Dua hari sebelum hari ulang tahunku. Sebungkus kantung plastik putih kau berikan padaku. "Ini buat kamu. Jangan dibuka dulu, dibukanya besok kalau sudah sampai rumah."  Begitu kalimat yang ku dengar ketika tanganmu menjulur dan mengisyaratkanku untuk menerima sebungkus plastik itu. "Ih ini mah bisa dilihat kali apa isinya!" Seruku sembari tertawa kecil.

Kau hanya tersenyum. Lalu berpamitan pulang. Aku tak sempat memperhatikan laju motormu sampai menjauhi titik dimana aku berdiri. Rasa kantukku seketika sirna. Dan aku segera ingin melihat isi yang ada didalam plastik putih tadi. Bergegaslah aku masuk ke kamar. Senyum-senyum sendiri, sembari berkaca dan membayangkan aku mengenakan baju itu. Sungguh ini, aku sangat bahagia atas pemberian itu. Seolah mengandung filosofi tersendiri dari mu. 

Baju itu ku gantung dan ku simpan rapi di lemari pakaianku. Setiap kali ku buka lemari dan melihat baju itu, langsung ingatanku tertuju padamu. "Senyum-senyum seperti orang sedang kasmaran saja!" Kataku dalam batin.  

Namun sayang, senyumku seperti orang kasmaran kala itu kini tak lagi ada. Kini bukan senyum bahagia yang terlihat kala aku memandang baju itu, tapi senyum getir yang menyesakkan dada. Baju itu pun kini tak lagi tergantung  disana. Ku simpan ia dalam satu tempat yang lebih rapi. Lebih tertutup, seperti kini engkau menutup segalanya dariku. Ternyata itu adalah hadiah terkahirmu, yang penuh teka-teki dan makna.

Warna hijau tentara. Aku punya filosofi akan baju itu. Hijau, warna yang mengandung makna menyejukkan suasana dan membangkitkan kegembiraan. seperti engkau, hadirmu yang singkat ini bisa membuatku merasakan hal yang sama seperti makna warna hijau.

Lantas hijau tentara, mungkin seperti ini aku memaknainya.
Seperti mimpimu untuk menjadi seorang prajurit. Prajurit harus berjiwa tangguh dan kuat. Dan dengan kepergianmu seperti ini, Kau ajarkan aku untuk menjadi kuat dan tangguh layaknya seorang prajurit.
Mungkin filosofi yang ku buat itu terkesan hiperbola. Namun, Biarkan waktu yang menuntunku sebagaimana mestinya. Menunggu moment tepat, supaya aku bisa kembali memakai baju itu tanpa lagi ada rasa sesak di dada. Entah ada atau tidaknya engkau dihadapanku ketika baju itu melekat ditubuhku.



Masa Orientasi Siswa
(Firstha Indriani)

Pagi itu pertama kalinya aku masuk sma. Ya walaupun masih menjadi anak mos, dan belum secara resmi memakai seragam putih abu-abu. Tapi setidaknya bagiku ada rasa bangga dari hal tersebut. Dan itu pertama kalinya aku mengikuti MOS untuk tingkatan sma. Banyak persiapan dan alat-alat yang harus dibawa selama mos tersebut.

Kelas baruku di sma adalah tempat dimana nantinya aku mengikuti pelajaran dan beraktivitas selama menjadi siswa sma, kelas itu disebut dengan kelas 10 E.

Hari pertama. Seperti biasa, selalu diadakan upacara bendera. Namun ini beda dari upacara biasanya. Upacara pagi itu sekaligus pembukaan mos tahun ajaran baru 2012-2013. Sebelumnya aku mengira hanya pembukaan biasa oleh bapak kepala sekolah. Tapi ternyata harus ada 2 perwakilan dari siswa baru untuk menerima tanda peserta mos. Aku dan teman-teman baruku bersiap siap turun ke lapangan untuk mengikuti upacara dan pembukaan MOS. Dengan kesibukan masing-masing kami saling bercerita dan berkenalan satu sama lain.

Tiba tiba aku mendengar seseorang memanggilku. “Dek, kamu Rosi ya?” Salah seorang kakak senior memanggilku. Aku hanya bisa menganggukan kepala dan menatap kakak senior itu dengan wajah bingung. “Eemm..ee..iya kak. Ada apa ya kak?” Tanyaku pada kakak senior tadi.

“Gini dek, ini kan ada penyematan tanda pengenal peserta MOS. Nah nanti kamu yang maju buat jadi wakil peserta MOS ya dek.” Jelas kakak senior padaku. Aku hanya terdiam. “Udah ayo, ini udah mau dimulai dek.” Tambah kakak senior tadi sembari menggandeng tanganku untuk secepatnya turun ke lapangan. “Tapi kak, aku sama siapa?” Tanyaku.

“Ada temennya kok dek. Sama eemm siapa ya tadi namanya. Aku lupa, eh tapi kayaknya masih satu SMP kok sama kamu.” Jelasnya.

Setibanya di lapangan, aku melihat sosok pria itu lagi. Pria yang sempat dekat denganku semasa SMP dulu. Dan saat itu aku dipertemukan kembali. Aku tak pernah berpikir sebelumnya untuk ada dalam waktu yang sama lagi dengan pria itu. Kedua mata kami saling menatap satu sama lain. Saling memandang dengan kegugupan masing masing. “mimpi apa aku malam tadi? Harus berhadapan dengan pria ini lagi. Setelah sekian lama kami tak saling sapa.” Ucapku dalam hati.
“lho Ros. Kok kamu disini?” Tanyanya padaku.
“eem iya, nggak tau tadi tiba tiba di panggil sama kakak-kakanya itu.” Aku menjawab dengan sebisa mungkin tidak memperlihatkan kegugupanku di depannya. Dan nantinya kami akan berjalan beriringan berdua menuju mimbar kepala sekolah. Berjalan di hadapan banyak orang di sekolah baru.

Detik detik upacara akan di mulai, beberapa teman SMP ku dulu yang sempat mengerti sejauh mana kedekatanku dengan pria itu hanya melempar senyum ketika melihatku. Bahkan ada juga yang menggodaku dengan ledekan ledekan ala mereka. Tapi aku cukup membalasnya dengan senyuman. Toh ini hanya sementara untuk melaksanakan perintah.
Dalam hati aku masih  bertanya tanya mengapa pada hari itu aku dipertemukan dengannya kembali?
Setelah upacara itu selesai, aku langsung bergegas menuju kelasku untuk bergabung bersama teman-temanku. Teman sebangkuku saat itu adalah Anggun. Kebetulan dia juga teman seperjuangan dan sekelasku sewaktu smp. Ketika sampai dikelas aku langsung duduk di bangku ku dan terdiam untuk beberapa saat.

“Kamu kenapa? Kok diem aja?” Tanya Anggun padaku. “Nggak papa kok. Cuma masih mikir aja semalem aku mimpi apa kok hari pertama masuk sekolah aku ketemu sama cowok itu lagi. Ini masih pertama lho.” Jelasku pada anggun.

“Ros, udahlah, yang lalu itu biarin aja. Toh kalian tadi cuma sebentar kan. Cuma perintah kan ros?” Kata anggun. “emm iya sih. Ah udah deh ya.” Kataku singkat.

“Ya udah ya udah Ros. Jangan di inget inget lagi. Kamu juga yang terlalu nggak bisa ngelupain dia.” Katanya dengan nada sedikit tertawa.

“Nggun kamu ini....” Dan Anggun pun bergegas pergi meninggalkan aku dibangku itu.
Sepenggal kalimat dari anggun tadi membuatku untuk berpikir, apa aku yang terlalu belum bisa untuk melupakan dia? Kedekatan ku dengannya memang bisa dibilang cinta monyet. Kami hanya anak bawang atau anak kemarin sore yang belum mengerti arti lebih tentang cinta. Yang lalu biarlah berlalu. Masa sekarang adalah masa dimana yang harus aku jalani, tanpa harus terus menerus menoleh kebelakang. Jika aku harus melihat toh itu hanya untuk dijadikan pelajaran agar kedepannya aku bisa menjalani hidup lebih baik lagi.

Sabtu, 04 Maret 2017


“Ta ayo lari cepet!” teriak Ragil sembari menarik tangganku.
Aku melihat seekor ular besar berjalan menuju arah tempat dimana aku dan teman-temanku sedang duduk di sekitaran gubuk.
“Si Uti, Ali sama Ucup mana?” tanyaku pada Ragil. Lalu tiba-tiba aku mendengar Uti memanggilku.
“Itaaaa....!”
“Ti kamu baik-baik aja kan? Kalian juga baik-baik aja kan?” tanyaku pada mereka.
“Kita ngga papa kok, sekarang kita duduk dulu aja, baru lanjut jalan lagi. Oke? Aku capek. Bentar ya.” Kata Ucup yang terlihat terengah-engah.
“Nih Ta minum dulu.” kata Ragil sembari memberikan botol air mineral padaku.
Thanks  ya.”
“Ini air terjunnya dimana sih kok lama banget ngga sampai kesana.” Kata Uti yang mulai merasa kesal.
“Sabar non. Memang tempatnya jauh.” Kata Ali. “Yaudah ayo kita jalan lagi.” Ajak Ali pada kita.
Kami pun melanjutkan perjalanan untuk menuju tempat air terjun. Ali yang berjalan paling depan pun memberikan peringatan bahwa jalan yang dilalui semakin lama semakin licin. Namun tiba-tiba. “Eh eh Ta Ta....!” teriak Ragil. Bukan malah menolong, aku dan ketiga temanku malah menertawai Ragil yang terpeleset.
“Ha ha ha ha! Makanya dibilangin suruh ati-ati ya di dengerin. Orang jalanya licin gini.” Kata Ali sembari tertawa meledek pada Ragil.
“Yah bajuku kotor deh. Ta celanaku kotor juga ngga?” tanya Ragil sambil berbalik badan mengarahkan bagian belakang tubuhnya padaku.
“Udah-udah ntar ganti aja di mobil.” Kataku dengan santai.
Kami pun tak henti menertawai Ragil yang kesakitan karena terpeleset dan semua pakaiannya penuh dengan tanah merah.
“Udah ayo jalan lagi aja.” Ajak Ali.
Sepanjang perjalanan menuju air terjun, lagi-lagi Uti, Ucup dan Ali meledek dan menggoda Ragil. Ia pun menggerutu dan hanya bisa diam.
Entah kenapa sepanjang perjalanan menuju air terjun, Ragil terus menggandeng dan menuntunku. Sesekali aku mencuri pandang padanya. Seolah ada rasa suka ketika aku dan ia dipertemukan kembali setelah sekian lama tak pernah berada dalam satu aktivitas bersama.  
“Akhirnya sampai juga lihat air terjun yang jernih ini.” Kata Uti dengan senang. Kami pun dengan segera meletakkan barang bawaan dan memulai untuk menikmati suasana disekitar air terjun itu.
Ketika aku berada dibawah air terjun aku memejamkan mata. Merasakan dinginnya air mengalir dari ujung kepala hingga ujung kaki. Perlahan aku membuka mata, melihat sosok Ragil yang berada di sampingku. Kembali ku pejamkan mata, merasakan lagi dinginnya air terjun. Tapi aku mulai merasakan seperti ada yang sedang menggenggam tanganku. Ku buka lagi mataku. Ku lihat Ragil berada disampingku dengan menggenggam tanganku. Kami pun merasakan dingin air terjun itu bersama.
Aku mendengar suara Uti, Ucup dan Ali yang sedang bercanda sembari menikmati dinginnya air terjun itu. Namun tiba-tiba aku mendengar suara Uti yang terdengar begitu jauh. Ketika aku membuka mata, aku tidak sedang berada di antara mereka. Aku melihat sekeliling, bingkai foto yang terpajang di dinding kamar terlihat samar-samar. Lalu aku melihat ke arah kiri. Jam dinding menunjukkan pukul setengah lima. Suara adzan subuh membuatku sadar bahwa aku sedang berada di alam nyata.

Aku bermimpi.
Mimpi yang datang begitu saja tanpa permisi. Bermimpi menghabiskan waktu bersama seseorang yang pernah ada dan menjadi bagian dalam hidupku. Namun semuanya telah usai. Semua yang aku alami hanyalah mimpi.
Sesekali aku bertanya pada diri sendiri, apa aku sedang rindu dengannya?
Siang itu, aku bertemu dengan Uti di kantin kampus.
“Ti Uti!” Teriakku memanggil Uti.
“Hei, makan yuk Ta.” Ajaknya.
“iya aku pesen dulu ya. Duduk disitu aja ya Ti.” Kataku sembari menunjuk tempat duduk.
“Eh Ti masak semalem aku mimpi main bareng sama Ragil.”
“Ta, kok bisa sih? Kamu kangen ya sama dia?” tanyanya meledek.
“Idih Ti, apaan sih. Sok-sokan nanda-nandain mimpi orang deh.”jawabku kesal.
“Ta, move on deh. Masak dia lagi dia lagi. Kamu masih inget kan dia gimana ke kamu. gimana galaunya kamu waktu dulu. udah deh Ta, cukup. aku kasian sama kamu kalau nantinya mesti galau-galauan lagi. Mending sekarang ya kamu buka hati deh buat si Aji. Udah jelas ada orang yang sayang sama kamu. Nyata lho Ta ini. Ayolah Ta, buka hati buat Aji.” Kata Uti menasehatiku.
Aku hanya tersenyum mendengar perkataan Uti. Mencoba memahami maksud Uti. Memang sudah sangat lama aku dan Ragil berpisah. Dan sudah cukup lama pula aku dan Aji bersama-sama. Kedekatanku dengan Aji sampai saat ini pun tidak ada kejelasan pasti. Tapi sikap dewasanya membuatku merasa nyaman ketika berada di dekatnya.
“Ta, are you okey?” tanya Uti.
“Iya Ti, aku ngga papa kok. Thanks ya Ti.” Kataku dengan penuh senyum.
“udah ah Ta jangan di pikirin berlarut-larut. Itu cuma mimpi Ta. Mending kamu fokus sama apa yang udah ada di depan mata kamu. Okey Ta?” Uti terlihat begitu semangat meyakinkan aku.

Aku mencoba merenungkan nasehat-nasehat yang diberikan sahabatku untukku. Mungkin orang lain sering menyebut hal semacam ini dengan istilah “terjebak nostalgia”. Sesekali rindu mungkin boleh, tapi berlarut-larut dalam masa lalu itu tidak baik. 

Sabtu, 13 Februari 2016

HAFALAN SURAT DELIA
Oleh : Firstha Indriani Ayuningtyas
Kisah ini bercerita tentang seorang gadis kecil dan lucu bernama Delia. Usianya baru hampir empat  tahun. Dia lahir dari latar belakang keluarga yang agamis. Umi dan Abi nya (panggilan untuk ayah dan ibu) selalu mendidiknya ajaran agama sejak dini. Kedua orang tuanya juga telah menyekolahkannya di sebuah Taman Kanak-kanak yang berbasis agama di daerah sekitar tempat tinggalnya. Dalam bepergian dia juga telah diajarkan untuk berbusana sesuai ajaran islam yaitu dengan menggunakan jilbab sama seperti Umi dan kakaknya.
“umi sebentar lagi Delia mau ulang tahun ya?” tanya Delia pada Uminya.
“memang ulang tahun Delia kapan?” Umi berbalik tanya pada Delia.
“1 Desember!” jawab Delia lantang. Dan Umi hanya tersenyum melihat tingkah putri ciliknya ini.
“memang kalau Delia mau ulang tahun Delia mau hadiah apa?” tanya Abi yang ternyata mendengar pembicaraan Delia dan umi.
“eemm Delia mau sepeda seperti punya Intan dan Lisa ya abi. Yang ada keranjang di depannya.” Kata Delia dengan manja pada abi nya.
“ohh itu. baik, nanti abi belikan.”
“yeeyyy terimakasih abiii.” Dengan girang Delia bersorak. Namun tiba-tiba abi menghentikan kegirangan Delia. “eits. Ada syaratnya lho tapi. Delia harus hafal 5 surat-surat pendek dulu. gimana?” kata abi pada Delia. “surat an-nas, surat al-ikhlas, surat al-falaq, al-asr, dan an-nasr. Bagaimana?” lanjut abi.
“emm baik abi. Tapi nanti Delia dibelikan sepeda kan yaa abi?” kata Delia.
“iya nak.” Jawab abi sembari mengusap kepala Delia.
Hari-hari berikut menjelang hari ulang tahunnya, setiap selesai sholat maghrib Delia meminta kakaknya untuk mengajarinya ke lima surat-surat pendek itu. Dengan giat Delia belajar untuk meghafal surat-surat tersebut. Setiap  ayat diulangnya empat sampai enam kali. Ketika satu surat sudah ia kuasai, ia pun terus mengulangnya sampai benar-benar hafal. Dengan nada suara anak kecil ia melantunkan ayat-ayat suci itu setiap selesai sholat maghrib. Umi dan abi merasa bangga dengan putri bunggunya ini. diusia yang masih sangat belia dia memiliki antusias dan rasa ingin tahu yang tinggi dalam segala hal. Di sekolahnya pun ia termasuk siswi yang aktif di kelas.
Satu hari menjelang hari ulang tahun Delia. Malam itu, seperti biasa, umi, abi, Delia dan kakaknya berkumpul bersama di ruang keluarga.
“Delia, lusa kan ulang tahun kamu, umi berencara untuk merayakannya disekolah bersama teman-teman kamu. bagaimana? Kamu setuju?’ tanya umi pada Delia
“iya umi, nanti Delia bisa rayain bareng-bareng sama Intan sama Lisa. Yeeeyyy terimakasih umi.” Kata Delia sambil memeluk umi.
Umi dan kakak Delia telah merencanakan dan mempersiapkan semuanya di hari ulang tahun Delia yang ke empat. Sedangkan abi, telah mempersiapkan kado spesial untuk Delia, yaitu sebuah sepeda mini yang berwarna putih dengan keranjang kecil, yang sesuai dengan permintaan Delia.
Dan hari yang ditunggu oleh Delia pun tiba. Dan saat ini usia Delia genap empat tahun. Hari ini tampaknya Delia sangat senang. Semuanya telah dipersiapkan untuk merayakan ulang tahun Delia nanti. Semua teman-teman Delia sudah berkumpul dalam kelas untuk merayakan ulang tahun Delia bersama. Ibu guru Delia juga ada disana untuk memimpin acara. Dan yang pasti umi, abi dan kakak Delia juga ada disana bersama mereka.
Acara puncak yang ditunggu pun tiba, saat dimana Delia dipersilakan untuk meniup lilin. Namun, saat Ibu guru menyuruh Delia untuk memotong kue ulang tahunnya, Delia pun menghentikan pembicaraan Ibu guru dan mengambil mike yang ada bawanya. Dengan suara lembut dan kekanak-kanakan, Delia mengucapkan sesuatu “abi, umi, kakak, terimakasih buat semuanya. Delia sangat senang sekali hari ini. Dan Delia mau menepati janji pada abi. Delia akan baca surat-surat yang abi perintahkan abi untuk Delia menghafalnya.” Dengan lantang Delia membacakan surat-surat itu hingga selesai. Seketika seluruh ruangan hening mendengar Delia membaca ayat-ayat al-quran. Umi dan abi sangat bangga pada Delia. Gadis bungsunya memanglah gadis yang selalu bersemangat dan pantang menyerah menjalani dan belajar dalam segala hal. Terlebih usianya masih  sangat belia.

Tantangan abi pada Delia ini semata-mata karena abi ingin mengajarkan kegigihan dalam menjalani sesuatu, dan ternyata Delia mampu menjalaninya. Suatu kebanggaan bagi umi dan abi. Memiliki anak dengan usia yang masih sangat belia, mampu menepati janji dan berusaha dengan sungguh-sungguh.

Minggu, 11 Oktober 2015

Cinta dalam jarak itu memang menyiksa. Menahan rindu yang setiap hari semakin menjadi. Rindu tak berbalas. Hanya bisa terdiam. Namun cinta dalam jarak mengajarkan kita untuk saling sabar dalam penantian. Penantian yang entah kapan bisa terwujud untuk saling bertemu. Aku hanya ingin cinta dalam jarakku nantinya bahagia diakhir kisah. Dan kamu selalu menjadi teman hidupku. Apapun warna hidup kita nanti. Dan kita dapat mewujudkan mimpi mimpi yang telah kita rencanakan. 💑

Selasa, 06 Oktober 2015

Terkadang aku sangat merindukan moment moment bersama kawan lamaku dulu. Tapi apakah mereka juga merasakan hal sama?
Nama mungkin boleh aku bisa saja lupa. Tapi wajah aku tak pernah lupa. Wajah wajah kalian yang mengisi hari hari dulu. Entahlah warna apa yang telah kalian berikan padaku, tapi aku tak akan pernah melupakan kalian dalam hidupku. 💞

Minggu, 26 Oktober 2014



Diam Diam Suka
(Firstha Indriani)

Sudah hampir satu semester aku melihatnya menangis. Dan ini terjadi  hampir setiap hari saat dia tiba di sekolah. Dengan wajah sediktit pucat dan seperti sangat sedih. Entahlah apa penyebab utamanya, namun sedikit terdengar olehnya bahwa seorang pria bernama Ando itulah penyebab dia menangis dan murung setiap pagi.

“kok tumben Tika jam segini belum berangkat?” tanya Cella pada Lia. “nggak tau nih, kesiangan mungkin.” Jawab Lia sembari menoleh ke arah jam dinding kelas. Tepat pukul 07.00 dan bel tanda masuk berbunyi, Tika belum juga muncul. 10 menit berlalu setelah bel tanda masuk berbunyi, tiba-tiba pintu kelas terbuka dan dibalik pintu tersebut ternyata Tika dan Ando. Ando dengan senyum yang gagah masuk ke kelas. Sedangkan Tika, dia dengan wajah agak pucat,  seperti menahan tangis dan tanpa semangat pergi ke sekolah. Anak-anak pun heran melihat Tika dan Ando yang terlambat secara bersamaan.

“ciye telat kok barengan sih.” Ledek Bastian pada kedua temannya itu. Ando hanya tersenyum mendengar ledekan Baastian tersebut. Namun, lain halnya dengan Tika. Dia langsung duduk dibangkunya dan membukukkan badannya lesu. Dia seolah mengabaikan ledekan dari temannya tersebut. “kamu kenapa? Tumben banget sih telat. Untung kelas masih belum mulai pelajaran.” Tanya Lia pada Tika. Tapi Tika tak menjawabnya dan masih acuh pada setiap perkataan teman-temannya.

Pelajaran jam kedua pun dimulai. Tika masih saja lesu dan murung. Saat waktu istirahatpun dia seolah tanpa semangat seperti teman-teman lainnya. Saat waktu pulang tiba, ternyata Ando dan Tika pulang secara bersamaan. Teman-teman yang lain sedikit heran melihat Ando dan Tika berangkat dan pulang secara bersamaan. Jarang hal ini dilakukan oleh Tika. Biasanya Tika hanya bersama sepupunya yang berada dikelas 12. Hal semacam ini menjadi rutinitas Ando dan Tika, dan juga selalu terlambat. Di sisi lain banyak yang beranggapan bahwa ada kedekatan khusus diantara mereka berdua. Hari demi hari berlalu hal ini terjadi, sedikit demi sedikit Tika mulai mau mengungkapkan isi hatinya pada Lia. Lia adalah teman Tika sejak kelas 10. Merekapun bercerita panjang lebar. Sampai terucap oleh Lia hal yang tak pernah disangka oleh Tika.
“jangan-jangan Ando suka ya sama kam Tik.” Ucap Lia
Tika pun membantah kalimat tersebut. “ hush ngawur kamu. Mana mungkin Ando suka sama aku. Ando itu seleranya tinggi, nggak mungkin kayak aku. Dan nggak mungkin juga kalo dia suka sama aku.”
“lho Tik, kok malah kamu jadi sewot gitu sih, atau jangan-jangan kamu yang suka sama Ando, sampai kamu masih mau dianter jemput sama dia, ya walaupun kalian telat terus.” Kata Lia seolah menyindir.
         
Tika sontak terdiam mendengar perkataan Lia demikian. Dia pun mulai berpikir lebih dalam. “apa aku suka sama dia?” ucapnya dalam hati. Ya bisa dibilang Tika adalah gadis yang lugu dan polos, namun dia memiliki kelebihan yaitu cantik, sholehah dan rajin.

Entahlah apa yang sebenarnya Tika rasakan. Namun dia tertekan dan penuh beban menerima kebaikan Ando. Hari itu tanggal 21 November adalah tepat Tika berulang tahun yang ke-17. Teman-teman sekelasnya berencana memberi kejutan untuknya. Dibalik kejutan dari teman-temannya, ternyata Ando memberi hadiah khusus untuk Tika. Sebuah bingkisan diberikannya secara diam-diam. Dilain hari, terlihat ada yang lain yang dikenakan oleh Tika. “wah ada yang habis ulang tahun terus tasnya baru nih.” Kata Bastian yang menggoda Tika.
 “ihh apaan sih, nggak kok. Tas aku kan rusak, makanya aku beli lagi.” Ucap Tika menanggapi ucapan Bale.
“ya kan intinya baru Tik,” balas Bastian sambil meledek ke arah Tika.  

Suatu ketika saat Tika dan Lia usai melaksanakan sholat dhuhur, tiba-tiba Lia tersadar ada yang lain lagi yang dikenakan oleh Tika.
 “eh sepatu baru yaa.” Ucap Lia.
“ini dari Ando Li.” Ucap Tika lirih pada Lia.
“Ando?” jawab Lia spontan.
“huuuss jangan keras-keras.” Kata Tika, sambil mencubit tangan Lia.
“ih sakit Tik.”
 “iyaa makanya jangan keras-keras kalo ngomong. Kamu sih dikasih tau dikit aja langsung deh.” Jawab Tika seolah kesal dengan tingkah temannya tersebut.
“emang beneran itu dari Ando? Brati kado spesial dong.”  Kata Lia sambil menggodanya. “kayaknya bener deh ada yang lain dari tingkahnya Ando.” Kata Lia sambil berjalan melewati koridor kelas.
“lain gimana? Biasa aja kayaknya, kan temen Li.” Bantah Tika.
“terus tas baru kamu itu jangan bilang juga dari........?” tanya Lia yang terlihat semakin penasaran dengan kedekatan Tika dan Ando.
Tika tidak langsung segera menjawab pertanyaan Lia. Dia hanya diam sambil menyembunyikan senyum manisnya itu.
“tuh kan senyum-senyum malu. brati temen yang spesial kan?” kata Lia sambil tertawa kecil.
Tika pun seolah tersipu malu mendengar ucapan Lia.
Hingga suatu pagi Tika kembali murung dan seolah tak kuasa menahan tangis.
“nangis lagi ni anak? Kenapa lagi sih? Nangis kok tiap pagi.” tanya Rizal. Hampir sebagian teman laki-laki meledekinya tiap pagi saat melihat Tika menangis. Ternyata Tika tak bisa menolak kebaikan Ando, walaupun terkadang dia diperlakukan tidak wajar. Entalah ada apa sebenarnya diantara Ando dan Tika. Namun seperti ada kejanggalan dibalik kebaikan Ando selama ini dengan Tika. Setiap kali orang mendengar cerita Tika, seolah berpikiran hal yang sama dan juga menyarankan hal yang sama. Tapi hal itu sulit dilakukan oleh Tika. Tika terlalu baik dan terlalu tidak tega untuk menjauhi Ando.

Kedekatan merekapun semakin hari semakin erat. Bahkan teman-teman sekelasnya sudah tak bisa mengartikan apa-apa tentang kedekatan mereka. Hingga suatu saat Tika menuliskan beberapa kata pada buku diarynya. “apa iya aku menyukai pria setampan kamu. Atau ini hanya mimpi saja bagiku? Pertanda apa aku selalu menerima kebaikanmu walaupun terkadang aku sering menangis dengan sikapmu. Benarkah ini yang namanya cinta?”